Komite HAM PBB Prihatin Hak Sipil-Politik 6 Negara, Termasuk di RI
Jakarta, SEPUTAR DUNIA -- Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis temuan berisi keprihatinan terhadap sejumlah negara dalam menerapkan Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Covenant on Civil and Political Rights/CCPR), Rabu (28/3).
Dalam situs resmi, badan HAM PBB menyatakan temuan-temuan itu berisi keprihatinan utama dan rekomendasi untuk ke enam anggota mereka, termasuk di Indonesia.
Berikut temuan PBB di enam negara termasuk Indonesia
Chili
Komite mencatat sejumlah besar pelanggaran hak asasi manusia dilakukan dalam konteks "ledakan sosial" akibat penggunaan kekuatan dan kebrutalan yang tak proporsional dan sewenang-wenang oleh polisi dan angkatan bersenjata Chili.
Mereka lantas mendesak Chili untuk membentuk mekanisme kontrol demi mencegah penggunaan kekerasan yang berlebihan, memastikan akuntabilitas di semua tingkat, menjamin para korban menerima reparasi yang komprehensif, dan mempertimbangkan untuk mengadopsi undang-undang tentang reparasi yang komprehensif.
Komite ini juga menyampaikan kekhawatiran mengenai tidak ada undang-undang yang komprehensif dan secara eksplisit menjamin prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
"Dan fakta bahwa kesetaraan belum tercapai di tingkat pemilu, seperti serta masih ada kesenjangan upah dan kesenjangan lain," demikian menurut laporan Komite HAM PBB.
Mereka menyerukan agar Chili meningkatkan upaya legislatif guna menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, meningkatkan partisipasi perempuan dalam kehidupan politik dan publik, dan menghilangkan kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan.
Guyana
Komite HAM PBB juga menyampaikan kekhawatiran ke Guyana lantaran minim pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan wilayah.
Selain itu, mereka menyoroti proses amandemen Undang-Undang Amerindian yang tak signifikan.
"Komite juga merasa terganggu dengan laporan bahwa aktivitas pertambangan yang tak diatur secara memadai di wilayah Amerindian telah menyebabkan degradasi lingkungan dan mengancam kesehatan dan cara hidup tradisional masyarakat Amerindian," demikian laporan Komite HAM PBB.
Komite lantas meminta Guyana mempercepat revisi Undang-Undang Amerindian tahun 2006 untuk menjamin hak-hak masyarakat adat menduduki, memiliki, menggunakan, dan mengembangkan tanah, wilayah, dan sumber daya tradisional mereka.
Mereka juga meminta Guyana mempercepat demarkasi dan sertifikasi tanah kolektif masyarakat adat.
Tak hanya itu, CCPR prihatin dengan kerangka kelembagaan dalam memberantas korupsi yang dinilai belum cukup kuat dan efektif.
"Komite merekomendasikan agar Guyana meningkatkan upaya mendorong tata pemerintahan yang baik dan memerangi korupsi dan impunitas di semua tingkat pemerintahan," lanjut mereka
Indonesia
Indonesia juga tak luput dari sorotan PBB.
Komite HAM PBB menyesali informasi yang minim soal kasus-kasus seperti dibebaskannya purnawirawan Mayor (purn) Isak Sattu dan investigasi pelanggaran di masa lalu. Isak Satu sempat jadi terdakwa kasus pelanggaran HAM di Paniai sebelum divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Makassar.
"Laporan ini meminta Indonesia memperkuat upaya mengakhiri impunitas dan meminta pertanggungjawaban pelaku atas pelanggaran yang dilakukan sebelumnya," lanjut mereka.
Komite juga merekomendasikan Indonesia menjamin independensi mekanisme akuntabilitas yudisial dan non-yudisial, menyelidiki semua pelanggaran, memberikan reparasi penuh kepada para korban, dan memastikan bahwa lembaga penegak hukum menindaklanjuti temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Selain itu, Komite HAM PBB menyampaikan kekhawatiran atas tuduhan yang tak semestinya terhadap pemilu 2024, serta keputusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan batas usia kandidat capres/cawapres. Keputusan ini menguntungkan anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming yang kemudian memenangi Pilpres bersama Prabowo Subianto sebagai capres.
"Komite juga merasa terganggu dengan pelecehan, intimidasi, dan penahanan sewenang-wenang terhadap tokoh oposisi," demikian laporan CCPR.
Mereka mendesak Indonesia menjamin pemilu yang bebas dan transparan, mendorong pluralisme politik yang sesungguhnya, menjamin independensi Komisi Pemilihan Umum, merevisi ketentuan hukum yang membatasi, memastikan tempat pemungutan suara bisa diakses, dan mencegah pengaruh yang tidak semestinya dari pejabat tinggi.
Namibia
Komite PBB ini juga menyampaikan keprihatinan soal masyarakat adat yang kerap dikucilkan dari kehidupan politik dan proses pengambilan keputusan di Namibia.
Mereka juga menyoroti pemerintah Namibia yang kurang berkonsultasi mengenai ekstraksi sumber daya alam dengan masyarakat adat di tanah mereka.
"Komite meminta Namibia untuk mempertimbangkan pengakuan komunitas seperti San, Himba, Ovatue, Ovatjimba dan Ovazemba sebagai masyarakat adat yang memiliki hak-hak yang sama, dan memastikan konsultasi yang bermakna dengan mereka sebelum memberikan izin apa pun untuk eksploitasi sumber daya di tanah mereka," lanjut laporan itu.
Komite menyampaikan keprihatinannya mengenai undang-undang yang mengizinkan penggunaan kekerasan yang berpotensi mematikan dalam situasi yang tak sesuai standar hak asasi manusia internasional.
Mereka juga menyoroti laporan prevalensi penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan Kepolisian Namibia.
CCPR lantas meminta Namibia untuk mengambil langkah-langkah tambahan untuk mencegah dan menghukum penggunaan kekuatan berlebihan.
Serbia
Komite HAM PBB prihatin karena marak ujaran kebencian di media online dan media tradisional oleh para politisi dan pejabat tinggi.
Ujaran kebencian itu menyasar jurnalis, dan kelompok etnis atau nasional minoritas lain, serta kelompok LGBTQ.
Komite tersebut meminta Republik Serbia untuk secara efektif menerapkan dan menegakkan kerangka hukum dan kebijakan yang ada dalam memerangi kejahatan rasial.
Mereka juga mencatat laporan berbagai penyimpangan dalam pemilu parlemen dan pemilu lokal yang digelar pada Desember 2023. Penyimpangan ini termasuk penyalahgunaan sumber daya publik, intimidasi dan tekanan terhadap pemilih, kasus-kasus jual beli suara, dan penjejalan kotak suara.
Komite meminta Serbia melakukan penyelidikan yang cepat, menyeluruh dan independen terhadap semua tuduhan penyimpangan, dam memperkuat pengawasan kampanye pemilu.
Somalia
CCPR juga prihatin dengan penggunaan kekuatan berlebihan dan pembunuhan warga sipil oleh angkatan bersenjata, aparat penegak hukum, Al-Shabaab dan kelompok teroris lain di Somalia.
Laporan tersebut mendesak Somalia mengambil langkah-langkah tambahan untuk secara efektif mencegah penggunaan kekuatan berlebihan dan pembunuhan warga sipil, serta menghukum para pelaku.
Komite juga mempertanyakan kesesuaian undang-undang Somalia mengenai penggunaan kekerasan dan senjata api dengan standar internasional, dan penerapan Kode Hukum Pidana Militer dalam Perdamaian, yang mengecualikan petugas penegak hukum dari penuntutan.
Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara
Komite ini sangat prihatin dengan kekebalan bersyarat berdasarkan Undang-Undang Masalah Irlandia Utara (Warisan dan Rekonsiliasi) tahun 2023 bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia serius.
Mereka juga mempertanyakan anggapan terhadap penuntutan yang mendukung penempatan personel militer di luar negeri setelah lima tahun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Operasi Luar Negeri (Personel dan Veteran) tahun 2021.
Komite meminta Irlandia dan Inggris untuk mencabut atau mengubah undang-undangnya, termasuk Undang-undang Luar Negeri, Undang-Undang Operasi (Personel dan Veteran) tahun 2021, dan Undang-Undang Masalah Irlandia Utara (Warisan dan Rekonsiliasi) tahun 2023.
"Untuk memastikan semua pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang dilakukan pejabat dan anggota angkatan bersenjata Inggris diselidiki dan dituntut dengan tepat, dan diberi sanksi yang sepatutnya tanpa batas waktu," lanjut laporan itu.
Selain itu, komite menyuarakan keprihatinan terhadap inisiatif legislatif, seperti Undang-Undang Migrasi Ilegal 2023. UU ini memuat unsur-unsur yang membatasi akses terhadap hak-hak pencari suaka, pengungsi, dan migran.
Komite juga menyayangkan soal pengaturan Inggris dengan negara-negara ketiga, khususnya Rwanda, untuk memindahkan pencari suaka.
Komentar
Posting Komentar