Panas Bumi di RI Berlimpah, 40% Potensi di Dunia



Jakarta, Seputar dunia - Reforminer Institute mengeluarkan hasil riset terbarunya, di mana potensi panas bumi di Indonesia mencapai 23.765,5 Mega Watt (MW) atau sekitar 40% total potensi panas bumi yang ada di Dunia. Atas besaran potensi itu, panas bumi dinilai bisa menjadi tulang punggung untuk mewujudkan ketahanan energi dan ekonomi nasional.


Bahkan, bisa membantu mewujudkan realisasi target Net Zero Emission (NZE) di tahun 2026 atau lebih cepat. Sebagaimana diketahui, selama 2017-2023 kapasitas terpasang panas bumi hanya meningkat sekitar 789,21 MW. Sejak mulai diusahakan pada 1980an sampai dengan akhir 2023, total kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi Indonesia dilaporkan baru mencapai sekitar 2.597,51 MW atau baru sekitar 10,3% dari total potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia.


Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menyampaikan, jika seluruh potensi panas bumi Indonesia dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 Juta Ton CO2e atau setara dengan 58% target penurunan GRK sektor energi pada tahun 2030 yang ditetapkan sebesar 314 Juta Ton CO2e.


Berdasarkan karakteristiknya, kata Komaidi, energi panas bumi memiliki peran penting untuk dapat membantu mewujudkan ketahanan energi nasional. Hal itu karena keberadaan dan pemanfaatan panas bumi pada umumnya melekat pada negara atau wilayah yang memiliki sumber daya panas bumi.


"Karena relatif tidak dapat diekspor, prioritas pemanfaatan energi panas bumi adalah untuk kepentingan domestik yang relevan dengan upaya mewujudkan ketahanan energi nasional," ungkap Komaidi.


Komaidi menambahkan, bahwa panas bumi memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan jenis energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya. Keunggulan tersebut meliputi: Pertama, tidak bergantungan pada cuaca. Kedua, produksi energi yang lebih besar untuk periode yang sama. Ketiga, tingkat kapasitas yang lebih tinggi. Keempat, prioritas untuk kepentingan domestik. Kelima, tidak terpengaruh oleh kenaikan harga energi fosil. Keenam, biaya operasi pembangkitan yang relatif lebih murah.


Menurut Komaidi, dalam kelompok EBT, faktor kapasitas listrik panas bumi (PLTP) tercatat sebagai yang terbaik yaitu antara 90-95 %. PLTP tercatat sebagai satu-satunya pembangkit EBT yang dapat beroperasi sebagai beban dasar (base load) dalam sistem kelistrikan.


"Faktor kapasitas PLTP yang besar tercermin dari meskipun kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) milik PLN pada tahun 2023 hanya sekitar 0,79% terhadap total kapasitas terpasang, produksi listrik PLTP yang dikelola PLN pada tahun yang sama mencapai sekitar 1,33% terhadap total produksi listrik PLN," jelas Komaidi.


Yang paling penting, Sumber energi panas bumi, kata Komaidi, terbebas dari risiko kenaikan harga energi primer seperti yang terjadi pada energi fosil pada umumnya. Karena relatif terbebas dari risiko kenaikan harga, pemanfaatan energi panas bumi dapat membantu menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.


Bahkan, biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) tercatat sebagai salah satu yang termurah. Di mana, rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional pada tahun 2022 dilaporkan sebesar Rp 1.473/kWh.


"Sementara rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) pada tahun yang sama adalah sebesar Rp 118,74/kWh atau sekitar 8,60 % dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional, terang Komaidi.


Sayangnya, Komaidi mencatat, relatif sama dengan RUPTL 2021 - 2030, target pemanfaatan panas bumi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga tampak belum menjadi prioritas utama. Penambahan kapasitas pembangkit EBET dalam dokumen KEN difokuskan pada pembangkit bioenergi, PLTA dan PLT Surya.


Sampai dengan tahun 2050, kapasitas pembangkit dari ketiganya ditargetkan masing - masing sebesar 26 GW, 38 GW dan 45 GW. Sementara pada periode yang sama kapasitas pembangkit listrik panas bumi ditargetkan sebesar 17,5 GW.


"Belum dijadikannya sumber energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya," terang Komaidi.


Adapun berdasarkan review Reforminer, terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi oleh pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia, diantaranya:


Pertama, risiko kegagalan eksplorasi. Kedua, risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi. Ketiga, hambatan regulasi dan tatakelola (PJBL, TKDN, perizinan, kepemilikan aset, ketidaksesuaian insentif pemerintah dengan kebutuhan pengembang) . Keempat, kebutuhan modal awal yang cukup besar. Kelima, durasi pengembangan relatif lama. Keenam, lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.


"Sejumlah kendala tersebut menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia dinilai masih cukup relatif mahal," tandas Komaidi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana militer AS berencana membangun dermaga dan mengirimkan makanan ke Gaza

12 Senator AS Ancam Mahkamah Pidana Internasional: Incar Israel dan Kami Akan Mengincarmu

Perang Saudara Tetangga RI Makin Panas, Para Jenderal 'Menghilang'